Monday, July 30, 2012

Entahlah

Aku hanya sedang berhenti saat ini, berhenti dari segala hal yang seakan tidak membutuhkan diriku. Entahlah, aku benar-benar merasa lelah. Aku selalu hidup dengan beragam harapan, karena hanya harapan-harapan itulah yang membuatku berani menatap hari esok.
Lalu bagaimana jika aku telah kehilangan semua harapanku?
Aku menemukan pertanyaan itu semalam, namun hingga pagi ini tak juga menemukan jawabannya. Aku hanyalah seorang gadis manja yang seolah memimpikan banyak hal, hanya karena ingin tetap bertahan dengan banyaknya proses hidup.
Proses yang aku mulai dengan penuh perjuangan hanya demi menatap indahnya dunia, hanya demi menghirup oksigen yang diberikan cuma-cuma olehNya.
Aku telah sampai pada proses hidup yang lain, yang seakan memaksaku untuk menjadi lebih baik. Iya, aku telah melakukannya meskipun tidak bisa dikatakan berhasil.
Aku memiliki kapasitas yang terbatas, sungguh terbatas hingga aku merasa telah sampai pada batasku. Aku sebenarnya masih ingin bertahan, namun aku telah kehilangan keyakinanku untuk tetap bertahan.
Entahlah, aku mungkin memang harus berhenti sekarang. Aku ingin membiarkan hatiku menemukan ketenangan yang seakan telah lama menghilang itu.
Hanya biarkan aku berdiam sejenak, entah hanya untuk sementara atau akan berlangsung selamanya, karena yang aku tahu, semua ada masanya.



Seulas senyuman yang mampu membuatku berani melangkah sampai sejauh ini.

Friday, July 27, 2012

Sisi Lain Seekor KUCING

Pusing kepala membuatku berhenti menulis sejenak kemarin, itu karena antrian e-KTP di kecamatan yang serasa menguji kesabaran orang yang tengah berpuasa. Dari pukul setengah sembilan pagi hingga pukul setengah dua siang, melelahkan dan tentu saja menguras tenaga.
Sudah lupakan saja tentang hari kemarin, karena aku memiliki cerita unik untuk hari ini, tentang sesuatu.
Aku menyukainya sejak masih belum mengerti mengapa makhluk indah itu begitu menjadi makhluk kesayangan nabi Muhammad saw. Ayah yang menceritakannya dulu sekali, saat aku masih suka "ngompol", bahwa nabi Muhammad saw rela menggunting sajadahnya demi membiarkan makhluk itu tidur terlelap.
Lalu sering pula makhluk menjadi hal yang amat sangat berdosa jika kita tanpa sengaja telah melukainya bahkan membuatnya menutup mata. Akan mendapatkan kesialan, itu yang sering aku dengar kala itu.
Apakah makhluk itu?
Seekor kucing, aku menyebutnya hewan tercantik karena aku suka saat dia mengeong, menggeliat manja dan mengibaskan ekornya. Sungguh makhluk ini sangat cantik hingga aku seakan jatuh cinta padanya.
Pernah dulu, saat aku masih berada di bangku Sekolah Dasar, aku memiliki seekor. Kini dia telah tiada, aku sangat menyayanginya karena dia begitu patuh padaku. Saat aku sakit, dia dengan diam menungguiku di samping tempat tidurku. Saat aku berangkat ke sekolah, dia akan menunggu kepulanganku di depan rumah, untuk meminta makan. Seandainya milikku itu masih ada, pasti aku sangat bahagia.
Hari ini aku mengingatnya karena aku melihat sebuah pemandangn indah tentang makhluk yang bernama "kucing" itu. Sisi lain membuatku seakan takjub, betapa Allah membuat semua makhluknya dengan indah.



Beberapa malam terganggu dengan suara kucing ditengah malam, ternyata ada seekor kucing yang melahirkan tepat di atas atap kamarku.
Tadi siang, dua anak kucing itu diturunkan ayah karena atap rumah seakan runtuh jika mereka berkejar-kejaran.



Ibu dari kedua anak kucing itu mondar mandir di atap rumah, hanya sedang kebingungan mencari anaknya. Aku pun sama, mondar mandir mambawa kardus yang berisi dua anak kucing untuk menunjukkan pada kucing itu bahwa anaknya ada di bawah, "turunlah pus", itu yang aku teriakan padanya.
Ibu dan kedua anaknya saling bersahutan "meong", entahlah apa yang mereka bicarakan. Andaikan aku bisa bahasa kucing, lucu sekali.



Aku dan ayah tidak tega, hingga akhirnya membawa kardus itu dan meletakkannya di lantai atas. Aku mengintip dari sela-sela tangga rumah. Satu per satu kucing itu membawa anaknya, menuju ke suatu tempat. Pemandangan yang sungguh mengharukan, demi sebuah kelanjutan hidup, sebuah hukum alam. Ada alasan kenapa si ibu harus menyembunyikan anak-anaknya yang terlahir jantan, hanya karena agar tidak dimakan oleh ayahnya.
Jadi dengan berat hati, aku harus rela jika harus terbangun ditengah malam lagi karena bunyi "meong" sang kucing.
Cepat tumbuh dewasa ya anak-anak kucing, biar ibumu tak bingung lagi mencarikan tempat bersembunyi untukmu.


Monday, July 23, 2012

I Love U

Sejak semalam, ada sesuatu yang menggelitikku, sungguh, sesuatu yang aku anggap sebagai berkah dan anugerah. Bukan sebuah rahasia lagi jika memang aku terlahir sebagai sosok yang dominan dalam hal bicara, iya aku paling tidak tahan jika harus disuruh diam, sebuah paksaan yang menyakitkan.
Hingga akhirnya aku dipertemukan dengan seseorang yang sangat berbeda 180 derajat dengan kepribadianku. Dengan beragam karakter "diam" yang ada dalam dirinya, seolah membuatku terbawa dalam dunia baru, membawaku menyadari satu hal bahwa aku akan hidup bersamanya untuk menghabiskan sisa umur kami.
Kami menjalani hubungan LDR (Malang-Sumbawa), bukan hal baru lagi bukan? Sangat mungkin pula kami akan melanjutkannya menjadi LDM, kami pasti bisa melaluinya, pasti!
Kembali lagi pada sosoknya, entahlah, aku hanya merasa kali klop, seakan tutup dengan wadahnya. Tidak bisa ditukar karena sudah pas.
Lalu apa yang aku pusingkan?
Aku bukan pusing, aku hanya sedang berjuang untuk sebuah pemahaman serta kesabaran. Aku hanya terlalu naif hingga tak pernah menyadarinya, bahwa semua hubungan yang melibatkan dua jenis anak manusia yang berbeda karakter, latar belakang dan lingkungan tempat tumbuh pastilah penuh dengan perbedaan pula.
Sosok itu hanya terlalu dewasa dan sabar menurutku hingga terkadang aku seakan jatuh cinta kembali pada sosoknya. Iya, aku benar-benar dibuatnya jatuh cinta berkali-kali.
Lalu apa lagi yang masih kurang?
Tentu saja semua sudah lengkap dan komplit, sudah sangat bersyukur aku memilikinya. Meskipun dia bukan orang yang pandai berkata-kata, karena aku memiliki banyak kata-kata, jadi itu sudah cukup.
Lalu apa lagi yang membuatku membuat tulisan ini?
Itu karena semalam aku dibuatnya jatuh cinta kembali dengan sebuah kalimat ajaib. Jika dipikir mungkin aneh, namun inilah kenyataanya. Aku berkali-kali jatuh cinta padanya.
Ada sebuah hal yang sebenarnya menjadi sorotan khusus dalam pandanganku, dia bukan tipe pria romantis. Namun ketika dia mencoba mengungkapkan rasa sayangnya, seakan dia menjadi pria paling romantis yang pernah ada.
Dia juga bukan tipe pria penggombal yang suka merayu sana sini, namun ketika dia mulai memujiku, aku seakan melayang di udara.
Sebuah panggilan sayang yang akhir-akhir ini muncul diantara kami adalah "Baby", entahlah apa artinya, aku hanya merasa bahwa kami memiliki cinta yang hebat.
Ini sebuah gambar yang khusus dibuatnya untukku, aku menyukainya hingga ingin memamerkannya kepada semua orang. I Love U too babyyyyyyyy...



Sepasang Sepatu Cantik



Saat pertama kali mendengar kata “Wisuda” yang berada dalam benak saya hanyalah momen dimana saya telah melepas status mahasiswi menjadi pencari kerja. Entah begitu terobsesinya saya untuk segera menamatkan diri dari perguruan tinggi tempat saya menimba ilmu untuk beberapa tahun hingga hari kelulusanlah yang selalu saya bayangkan. Hari dimana saya menerima ijasah dan berjabat tangan dengan rektor secara langsung. Dan kebahagian tergambang dengan jelas ketika pengumuman hari wisuda telah terpampang dengan jelas di papan pengumuman akademik jurusan. “Good bye UAS, good bye lembur tugas, good bye quiz, good bye UTS jg, good bye dengan semua kepenatan kampus”, itulah yang selalu menari-nari dalam benak saya sembari menunggu hari yang penuh sejarah.
            Ketika persiapan untuk acara wisuda merupakan hal yang penting bagi sebagian wanita, saya mulai terusik. Bukan sebuah masalah jika saya nanti harus mengenakan kebaya lengkap dengan toga yang menandakan saya adalah wisudawati. Namun yang menjadi permasalahan adalah saat saya menengok deretan berjajar rak sepatu, sungguh ironis jika melihatnya karena yang terpampang di sana hanyalah sepatu jenis kets dengan segala atribut seorang pria. Saya terlahir sebagai wanita, benar-benar wanita asli jawa. Hanya saja saya tidak pernah menyadari bahwa menjadi wanita itu penuh dengan hal-hal yang ribet, seperti berdandan dan bersepatu High Heels. Pemandangan wanita bersepatu tersebut bukan hal asing karena saya sering menjumpainya ketika sedang berada di gazebo kampus. Tidak sedikit wanita yang berlalu lalang memakainya, mereka dosen, mahasiswi dan pegawai.
            Permalasahan ini semakin terasa momok dalam tidur malam saya karena saya merasa bingung, akankah saya mengenakan sepatu kets sambil lengkap mengenakan kebaya saat wisuda nanti? Dan saya tidak bisa tidur semalam penuh hanya untuk sekedar menemukan jawabannya.
            Tepat 3 hari menuju hari bersejarah itu, seorang teman mengajak saya hunting sepatu wisuda di sebuah Mall. Pada mulanya tentu saya sedikit malas, saya tidak terlalu menyukai kegiatan shopping namun entah mengapa saya menerima ajakan seorang teman tersebut untuk berbaur dengan ratusan orang yang mungkin sedang mencari sepatu juga, saya tidak terlalu memperhatikan.
            Sembari membuntut tepat di belakang teman yang sedang memilih model serta warna yang cocok untuk kebaya wisudanya, saya mengambil sepasang sepatu berwarna keemasan dengan ketinggian sekitar 5 cm. “Bagaimana jika saya memakainya? Mungkin langsung terjatuh saat berjalan, memalukan sekali!” Batin saya dalam hati. Namun teman saya memperhatikan saya yang tengah menatap sepasang sepatu cantik tersebut dan seakan mengetahui isi hati saya dia berkata, “Nanti kalau jalan pelan-pelan saja, kalau baru pertama kali memakainya pasti memang susah tapi kalau sudah terbiasa pasti ketagihan”. Ungkapan itu semacam sebuah pertanda yang mengisyaratkan bahwa saya harus membelinya dan memakainya dihari bersejarah itu.


            Dan tanpa saya sadari, sepasang sepatu berhak tinggi itu telah menjadi penghuni kamar saya yang baru. Saya sengaja tidak meletakkannya langsung pada rak sepatu yang berisi sepatu kets semasa saya kuliah karena sepatu itu terlalu cantik. Saya hanya bisa memandang dengan perasaan yang beranekaragam antara senang dan khawatir. Saya merasa senang karena untuk pertama kalinya saya memiliki sepasang sepatu cantik yang membuat saya tidak bosan memandangnya hingga terasa sayang untuk memakainya. Namun juga sedikit khawatir jika membayangkan bagaimana saya berjalan saat wisuda nanti? Apakah saya tidak akan terjatuh? Dan pertanyaan itu seakan terhalang oleh kekaguman akan kecantikannya yang memukai, dengan tali yang begitu manis. Sepatu itu terlihat sederhana namun menawan, tidak ada keramaian seperti bunga-bunga layaknya sepatu seorang putri, hanya tali yang tipis yang akan menutup mata kaki dan sebagian jari kaki.
            Begitu hari yang dinantikan telah tiba, dengan penuh semangat saya bangun pagi-pagi sekali, menyiapkan segala sesuatu yang harus saya kenakan dalam acara sakral itu. Saya begitu bersemangat mengenakan kebaya, begitu merasa bangga mengenakan toga dan merasa cantik saat mengenakan sepasang sepatu itu. Hingga tanpa saya sadari kekhawatiran tentang bagaimana jika saya jatuh saat mengenakan sepatu itu telah tergantikan dengan rasa bahagia. Saya mampu berjalan tanpa harus terjatuh meskipun dengan sangat pelan.
            Hari itu seakan berakhir dengan bahagia, tentang betapa usaha selama menempuh kuliah hingga mampu meraih gelar sarjana, semua terbayar mahal tepat dihari wisuda itu. Saat sampai di rumah, saat saya harus melepaskan sepatu cantik itu ada sebuah perasaan haru yang membuat saya menyesal telah membelinya. Bukan karena saya tidak menyukainya lagi setelah hari itu namun karena saya merasa sangat kasihan pada sepatu itu, mungkin saya tidak bisa mengenakannya kembali. Saya hanya merasa bingung harus memakainya kemana? Pada acara pernikahan? Ataukah pada acara-acara resmi? Saya hanya mampu menyimpannya dalam kardus dan menjajarkan dengan sepatu kets saya yang lain.
Setiap kali melewati rak sepatu, saya selalu berhenti dan membuka kardus putih yang mulai berdebu namun isi kardus itu masih sama, masih ada sepasang sepatu cantik yang setahun lalu menemani saya melenggang untuk menerima ijasah sekaligus bersalaman dengan rektor. Saya rasa saya akan memakainya kembali nanti pada saat saya mengenakan kebaya, mungkin pada saat saya menikah. Dan saya hanya akan selalu mengingat bahwa sepatu itu adalah sepatu pertama saya yang tercantik yang pernah saya miliki sepanjang usia saya.

Mimpi Gila



Bagaikan punguk yang merindukan bulan, begitulah sekiranya perumpamaan yang bisa saya gambarkan ketika memiliki berbagai angan-angan namun untuk mulai melangkah terasa berat kaki melangkah. Entah kegemaran saya sejak masih berada di bangku sekolah dasar yang memaksa saya untuk selalu membaca majalah Bobo, majalah anak-anak yang memuat berbagai gambar kartun di dalamnya. Beranjak ke bangku sekolah menengah pertama saya mulai beralih membaca novel roman picisan anak sekolahan yang penuh dengan tema cinta-cintaan. Berharap bisa memiliki selemari buku novel namun tidaklah demikian, uang saku saya tidak mampu membeli buku novel pada masa itu meskipun hanya satu buah saja. Alhasil adalah saya selalu menyisihkan uang saku untuk menyewa novel diperpustakaan sekolah maupun persewaan novel di luar sekolah. Meskipun demikian, kecintaan saya untuk membaca tidak pernah berkurang, malah semakin bertambah seiring banyaknya novel yang saya baca.
Pernah suatu ketika saya merasa ingin bercerita, anak perempuan berusia 13 tahun yang mulai berimajinasi tentang sebuah cerita. Itu sekitar 11 tahun yang lalu, saya tidak memiliki komputer ataupun laptop seperti sekarang. Dan saya menuangkan cerita saya itu dalam tarian pena pada halaman terakhir buku pelajaran saya. Entahlah saya hanya merasa ingin bisa merangkai kata demi kata layaknya penulis dalam novel-novel yang sering saya baca. Perpaduan bahasa yang indah dan sarat makna membuat saya terobsesi untuk bisa seperti mereka.
Beranjak menuju bangku sekolah menengah atas, obsesi tersebut seakan terkalahkan oleh lelahnya jadwal les di sekolah. Saya tidak pernah lupa impian untuk menulis namun saya hanya merasa terbatasi oleh waktu. Mungkin karena saya tidak terlalu pandai dalam memanfaatkan waktu. Tetapi satu hal yang tidak pernah berubah, kecintaan saya untuk membaca novel masih menggebu di dada. Novel yang saya baca telah berpindah dalam dunia percintaan anak remaja.
Hingga saya memasuki bangku perkuliahan, untuk pertama kalinya saya merasa bahagia karena apa yang saya butuhkan untuk sebuah mimpi itu telah ada di hadapan saya. Saya memiliki sebuah komputer dan tepat dihari pertama komputer itu menghiasi kamar saya, tepat dihari itu pula saya mulai menarikan jari-jari saya, mencoba menuangkan semua ide yang selama bertahun-tahun hanya memenuhi isi kepala saya.
Namun kembali lagi saya merasa impian itu semakin jauh, saya terlalu disibukkan dengan tugas kuliah hingga skripsi yang menguras energi serta tenaga. Saya berhenti menulis sejenak dengan harapan suatu hari nanti pasti akan ada waktu yang lebih panjang yang bisa saya miliki untuk sekedar duduk didepan layar komputer, untuk sekedar menarikan jari-jari saya merangkai kalimat demi kalimat.
Hal yang serupa masih sama terjadi ketika saya benar-benar memiliki begitu banyak waktu untuk menuangkan ide-ide dalam kepala saya. Saya ingin menerbitkan sebuah buku, sebuah cerita yang mampu menginspirasi, sebuah kisah nyata yang sarat makna dengan harapan memiliki kesempatan untuk diangkat ke layar lebar.
Mungkin saya memang orang yang beruntung, doa saya didengar dengan cepat. Entah lewat jalan yang bernama kebetulan atau memang takdir, saya memasuki forum menulis di media jejaring sosial bernama PNBB dengan cara yang misterius, saya berani mengirim pesan kepada pendirinya yaitu pak Heri Cahyo untuk segera mengkonfirmasi permintaan saya menjadi anggota. Sebagai anggota baru pastilah masih penuh dengan berbagai tanda tanya besar hingga sempat pula saya meninggalkan grup itu untuk sementara. Sampai suatu ketika seorang anggota grup itu telah membuat saya merasa iri, kami berteman hanya lewat media jejaring sosial dan pesan singkat di handphone namun terasa kami sudah sangat lama saling mengenal. Dia adalah Vina N Istigfarini, dia telah berhasil menerbitkan buku lewat grup tersebut. Dan saya kembali teringat mimpi saya terdahulu dan berlari secepat yang saya mampu untuk memulainya.
Saya ingin mimpi konyol yang kebanyakan orang hanya akan mencibir itu menjadi sebuah kenyataan. Saya hanya akan menulis untuk sebuah cita-cita yang sempat tertunda karena saya tidak pernah bergerak kearahnya. Dan kini saya hanya akan mendekat sedekat yang saya mampu untuk sekedar meraih mimpi gila saya.
Malang, 17 Mei 2012.

Sunday, July 22, 2012

Seberkas Ingatan


Hanya tiba-tiba teringat tempat ini, sungguh rindu dan berharap tak melupakan semua moment indah yang pernah terjadi di sana.
Kampusku tercinta, tempatku menimba ilmu dalam beberapa tahun, tempatku menghabiskan banyak waktu di sana.
Mungkin menjadi dewasa memang sebuah pilihan, berusaha atau menyerah. Karena aku hampir menyerah menjadi dewasa ketika aku harus melangkahkan kakiku meninggalkan segala gelak canda dan tawa yang masih akan selalu tertinggal di sana.
Masa-masa menjadi pelajar telah usai, itulah yang selalu aku kumandangkan dalam hatiku. Sudah saatnya aku terbang menggapai semua mimpiku. Merengkuhnya dalam dekapan suka cita, tanpa harus menoleh kembali ke belakang.
Suatu saat nanti, segala bentuk rasa yang seakan tak ingin meninggalkan tempat itu pastilah akan terganti dengan beragam rasa lain.
Saatnya tumbuh, berjalan, berlari dan mengabdi. Aku hanya termasuk segelintir orang yang berkutat dengan banyaknya rancangan hidup hingga aku yakin mampu menggapai semuanya.
Mimpi dan harapan yang akan terus berkobar didada, hanya untuk sebuah kelanjutan hidup.
Biarkan semua terkenang dalam indahnya kemasan persahabatan dan kasih sayang, karena aku yakin semua telah berganti masa.
Masa-masaku di sana telah lewat, masa-masaku telah berganti. Hanya saatnya menatap masa depan dengan cerah untuk sebuah prestasi yang gemilang.
Bahkan semua hati akan selalu terpaut pada kenangan itu hingga waktu memberikan kesempatan untuk merajutnya kembali.

Hanya Semangat

Sudah memasuki puasa hari ketiga, waktu berjalan dengan sangat cepatnya. Bahkan tidak memberiku waktu untuk sekedar menghela nafas, laksana kereta api yang tanpa bisa berhenti secara tiba-tiba, dialah sang waktu. Aku bukan tipe orang yang suka berandai-andai, namun aku sering melakukannya. Entahlah, mungkin karena aku merasa tak menemukan arah saat sampai pada persimpangan jalan. Masalahnya selalu sama, aku tak yakin untuk memilih yang terbaik diantara banyaknya pilihan yang terbaik.
Mula-mula aku bersemangat, bahkan bersemangat melebihi yang lain. Dengan segudang rancangan hidup yang seakan membuatku tak akan kehabisan ide. Lalu, apa yang selanjutnya terjadi? Aku hanya tidak stabil dalam membagi semangatku, hanya tidak mampu menggunakannya dengan baik.
Semangat adalah rasa dalam hidup, sebuah asa yang tanpa celah, seberkas mimpi yang menggelembung liar di udara. Aku menemukan itu semua baru-baru ini, hanya baru beberapa bulan ini. Sebuah perasaan gila yang seakan menggebu-gebu dengan beragam gambaran aneh lainnya.
Ini hanya tentang aku beserta rumitnya kemauan yang membuncah ruah di dalamnya. Hanya seorang gadis manja yang seakan memiliki kekuatan untuk menaklukkan dunia, keberanian yang cukup menantang.
Ada sebuah kisah yang sungguh hanya mampu membuatku tersipu malu bahkan hampir meneteskan air mata, entahlah, semua terlalu indah untuk hanya aku kenang.
Aku sedang berada pada posisi nol dalam sebuah bidang kartesius, itulah filosofi yang aku gunakan sebagai seorang yang telah menamatkan diri dari sebuah jurusan Matematika.
Ketika aku menyadari posisiku saat ini yang tengah berada pada posisi bawah, aku benar-benar bersyukur. Karena aku masih diberikan kesempatan, sebuah kesempatan untukku meroket, melambung tinggi di udara. Aku hanya terlalu takut untuk bangkit hingga aku membutuhkan sebuah tamparan keras di pipiku, hanya agar aku terbangun dan menghadapi kenyataan hidup yang tengah menantiku.
Aku sudah memikirkan semuanya, tentang rencana-rencana yang ingin aku gapai. Namun lagi-lagi, kegilaanku tentang semangat itu kembali mengganggu. Aku hanya terlalu bersemangat hingga tak mampu mengendalikan diri ketika dihadapkan kembali pada rencana-rencana itu. Aku hanya terlalu penuh dengan asa yang seakan membuatku memimpikan semua hal dalam sekejap.
Aku tidak ingin menyerah, aku sedang belajar menikmatik sensaninya. Bahwa perjalananku masih sangat panjang, terlepas bahwa masih akan ada berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus persimpangan jalan yang akan aku hadapi nanti.
Kini, biarkan saja semuanya terjadi, hanya ambillah sebuah prioritas untuk sebuah tujuan penting. Semua memang penting, namun pasti ada yang lebih penting. Tetap berjalan dan lakukan semua dengan sepenuh hati.

Hanya Semangat

Sudah memasuki puasa hari ketiga, waktu berjalan dengan sangat cepatnya. Bahkan tidak memberiku waktu untuk sekedar menghela nafas, laksana kereta api yang tanpa bisa berhenti secara tiba-tiba, dialah sang waktu. Aku bukan tipe orang yang suka berandai-andai, namun aku sering melakukannya. Entahlah, mungkin karena aku merasa tak menemukan arah saat sampai pada persimpangan jalan. Masalahnya selalu sama, aku tak yakin untuk memilih yang terbaik diantara banyaknya pilihan yang terbaik.
Mula-mula aku bersemangat, bahkan bersemangat melebihi yang lain. Dengan segudang rancangan hidup yang seakan membuatku tak akan kehabisan ide. Lalu, apa yang selanjutnya terjadi? Aku hanya tidak stabil dalam membagi semangatku, hanya tidak mampu menggunakannya dengan baik.
Semangat adalah rasa dalam hidup, sebuah asa yang tanpa celah, seberkas mimpi yang menggelembung liar di udara. Aku menemukan itu semua baru-baru ini, hanya baru beberapa bulan ini. Sebuah perasaan gila yang seakan menggebu-gebu dengan beragam gambaran aneh lainnya.
Ini hanya tentang aku beserta rumitnya kemauan yang membuncah ruah di dalamnya. Hanya seorang gadis manja yang seakan memiliki kekuatan untuk menaklukkan dunia, keberanian yang cukup menantang.
Ada sebuah kisah yang sungguh hanya mampu membuatku tersipu malu bahkan hampir meneteskan air mata, entahlah, semua terlalu indah untuk hanya aku kenang.
Aku sedang berada pada posisi nol dalam sebuah bidang kartesius, itulah filosofi yang aku gunakan sebagai seorang yang telah menamatkan diri dari sebuah jurusan Matematika.
Ketika aku menyadari posisiku saat ini yang tengah berada pada posisi bawah, aku benar-benar bersyukur. Karena aku masih diberikan kesempatan, sebuah kesempatan untukku meroket, melambung tinggi di udara. Aku hanya terlalu takut untuk bangkit hingga aku membutuhkan sebuah tamparan keras di pipiku, hanya agar aku terbangun dan menghadapi kenyataan hidup yang tengah menantiku.
Aku sudah memikirkan semuanya, tentang rencana-rencana yang ingin aku gapai. Namun lagi-lagi, kegilaanku tentang semangat itu kembali mengganggu. Aku hanya terlalu bersemangat hingga tak mampu mengendalikan diri ketika dihadapkan kembali pada rencana-rencana itu. Aku hanya terlalu penuh dengan asa yang seakan membuatku memimpikan semua hal dalam sekejap.
Aku tidak ingin menyerah, aku sedang belajar menikmatik sensaninya. Bahwa perjalananku masih sangat panjang, terlepas bahwa masih akan ada berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus persimpangan jalan yang akan aku hadapi nanti.
Kini, biarkan saja semuanya terjadi, hanya ambillah sebuah prioritas untuk sebuah tujuan penting. Semua memang penting, namun pasti ada yang lebih penting. Tetap berjalan dan lakukan semua dengan sepenuh hati.

Thursday, July 19, 2012

Aku Memilihmu

Aku memilih untuk berhenti sejenak, bukan aku menyerah. Aku hanya ingin sejenak saja menghela nafas dan duduk dengan santai di tepi jalan ini. Sembari menatap rumput-rumput liar yang tengah berdiri dengan kokohnya, sudah saatnya dipotong. Pepohonan yang semakin menjulang tinggi seakan membuatku ingin berada pada puncaknya. Perjalanan ini masih panjang, masih penuh dengan bebatuan dan lubang aspal yang terkelupas oleh hujan dan terik mentari. Aku meninggalakan bekal makanan dan minumanku di rumah, entahlah aku hanya merasa tidak membutuhkan itu semua. Namun belum sampai setengah perjalanan, aku berhenti pada sebuah persimpangan jalan. Dua jalan yang aku tahu dimana ujungnya, aku sangat mengenal kemana jalan-jalan itu akan membawaku.
Jalan pertama, sebuah jalan yang aku yakini bahwa aku akan mampu menemukan semua mimpiku di sana. Bahwa jalan itu akan membawaku pada sebuah kisah lain yang telah lama aku nantikan. Di ujung jalan itu pula, seseorang tengah menungguku dengan sabar, dengan cinta dan segala perjuangan yang telah dilaluinya. Aku ingin berlari ke jalan itu, aku benar-benar ingin segera berjalan di sampingnya. Namun aku merasa ketakutan sendiri, tentang banyak hal. Tentang diriku yang seolah takut membuatnya terluka, tentang dirinya yang terlalu sempurna dalam pandangan mataku. Juga tentang rasa sayangku padanya yang seakan mampu melukai hatinya. Dari jarak sejauh inipun aku mampu melihat senyumnya yang seakan ingin menenangkanku, aku mampu mencium aroma tubuhnya yang selalu aku ingat saat terkhir kami bertemu. Aku mampu melihat semua impian kami yang seakan menjadi indah suatu hari nanti, aku mampu merasakan semuanya. Namun lagi-lagi, kakiku seakan berat melangkah karena sekali aku berlari ke jalan itu, selamanya aku tidak akan pernah bisa kembali. Selamanya aku akan hidup pada jalan itu, selamanya pula aku tidak akan menemukan kembali persimpangan jalan yang sama.
Lalu bagaimana dengan jalan kedua? Sebuah jalan yang akan membawaku kembali ke tempat pertama aku memulai perjalanan ini, jalan menuju rumahku. Bagaimana mungkin aku bisa memilih jalan ini jika pada akhirnya aku akan sampai pada tempat semula? Karena sepanjang perjalanan ini sungguh tidaklah mudah, aku membutuhkan cukup keberanian dan rasa percaya diri yang besar. Namun kini ketika aku sampai pada persimpangan ini, aku merasa seakan tak mampu mengambil keputusan tentang jalan mana yang akan aku pilih.
Inilah alasanku, mengapa kau harus berhenti? Mengapa aku harus terdiam cukup lama di persimpangan jalan ini? Mengapa aku harus benar-benar meyakinkan diriku bahwa aku harus memilih jalan pertama? Karena aku memiliki banyak alasan untuk itu, bahwa jalan pertama inilah yang selama ini aku cari, bahwa jalan pertama inilah yang akan membuatku belajar banyak hal. Aku sungguh ingin segera berlari menuju jalan pertama, aku sungguh ingin segera melalui jalan itu sesegera mungkin.
Namun, sebelum aku bangkit dari dudukku di bebatuan ini, ijinkan aku menikmati setiap hal yang ada di sekelilingku. Ada sebidang tanah lapang di samping tempatku duduk, tempat dimana aku bisa memutarinya dengan berteriak dan tertawa bahagia. Ada aliran sungai yang begitu bening beserta ikan yang berenang kesana kemari, tempatku bermain hingga sepanjang hari. Ada batang pohon yang begitu kokoh berdiri sejak lama, aku sering memanjatnya jika aku ingin menggapai bintangku. Kicauan burung yang membuat bising seolah terdengar merdu kali ini.
Bisakah aku menemukan itu semua di ujung jalan pertama tadi? Atau bisakah aku mengenang semua hal yang pernah aku alami jika aku telah melewati jalan pertama itu?
Ijinkan aku memikirkan semua hal tentang hidupku di persimpangan jalan ini, ijinkan aku mengenang setiap hal yang pernah aku alami hingga sampai pada persimpangan jalan ini.
Aku menyadari satu hal, bahwa hidupku akan benar-benar berubah ketika aku melangkah menuju jalan pertama. Aku menginginkan itu semuan namun aku ingin sejenak saja memikirkan semua hal yang pernah terjadi dalam hidupku.
Aku pasti akan bangkit dari dudukku dan berjalan dengan pasti menuju jalan pertama, hanya bersabarlah menungguku untuk menemukan keyakinan dalam diriku. Bahwa semua akan baik-baik saja jika kita berjalan bersama sayang…