Saat
pertama kali mendengar kata “Wisuda” yang berada dalam benak saya hanyalah
momen dimana saya telah melepas status mahasiswi menjadi pencari kerja. Entah
begitu terobsesinya saya untuk segera menamatkan diri dari perguruan tinggi
tempat saya menimba ilmu untuk beberapa tahun hingga hari kelulusanlah yang
selalu saya bayangkan. Hari dimana saya menerima ijasah dan berjabat tangan
dengan rektor secara langsung. Dan kebahagian tergambang dengan jelas ketika
pengumuman hari wisuda telah terpampang dengan jelas di papan pengumuman
akademik jurusan. “Good bye UAS, good bye lembur tugas, good bye quiz, good bye
UTS jg, good bye dengan semua kepenatan kampus”, itulah yang selalu menari-nari
dalam benak saya sembari menunggu hari yang penuh sejarah.
Ketika persiapan untuk acara wisuda
merupakan hal yang penting bagi sebagian wanita, saya mulai terusik. Bukan
sebuah masalah jika saya nanti harus mengenakan kebaya lengkap dengan toga yang
menandakan saya adalah wisudawati. Namun yang menjadi permasalahan adalah saat
saya menengok deretan berjajar rak sepatu, sungguh ironis jika melihatnya
karena yang terpampang di sana hanyalah sepatu jenis kets dengan segala atribut
seorang pria. Saya terlahir sebagai wanita, benar-benar wanita asli jawa. Hanya
saja saya tidak pernah menyadari bahwa menjadi wanita itu penuh dengan hal-hal
yang ribet, seperti berdandan dan bersepatu High
Heels. Pemandangan wanita bersepatu tersebut bukan hal asing karena saya
sering menjumpainya ketika sedang berada di gazebo kampus. Tidak sedikit wanita
yang berlalu lalang memakainya, mereka dosen, mahasiswi dan pegawai.
Permalasahan ini semakin terasa
momok dalam tidur malam saya karena saya merasa bingung, akankah saya
mengenakan sepatu kets sambil lengkap mengenakan kebaya saat wisuda nanti? Dan
saya tidak bisa tidur semalam penuh hanya untuk sekedar menemukan jawabannya.
Tepat 3 hari menuju hari bersejarah
itu, seorang teman mengajak saya hunting
sepatu wisuda di sebuah Mall. Pada mulanya tentu saya sedikit malas, saya tidak
terlalu menyukai kegiatan shopping
namun entah mengapa saya menerima ajakan seorang teman tersebut untuk berbaur
dengan ratusan orang yang mungkin sedang mencari sepatu juga, saya tidak
terlalu memperhatikan.
Sembari membuntut tepat di belakang
teman yang sedang memilih model serta warna yang cocok untuk kebaya wisudanya,
saya mengambil sepasang sepatu berwarna keemasan dengan ketinggian sekitar 5
cm. “Bagaimana jika saya memakainya? Mungkin langsung terjatuh saat berjalan,
memalukan sekali!” Batin saya dalam hati. Namun teman saya memperhatikan saya
yang tengah menatap sepasang sepatu cantik tersebut dan seakan mengetahui isi
hati saya dia berkata, “Nanti kalau jalan pelan-pelan saja, kalau baru pertama
kali memakainya pasti memang susah tapi kalau sudah terbiasa pasti ketagihan”.
Ungkapan itu semacam sebuah pertanda yang mengisyaratkan bahwa saya harus
membelinya dan memakainya dihari bersejarah itu.
Dan tanpa saya sadari, sepasang
sepatu berhak tinggi itu telah menjadi penghuni kamar saya yang baru. Saya
sengaja tidak meletakkannya langsung pada rak sepatu yang berisi sepatu kets
semasa saya kuliah karena sepatu itu terlalu cantik. Saya hanya bisa memandang
dengan perasaan yang beranekaragam antara senang dan khawatir. Saya merasa
senang karena untuk pertama kalinya saya memiliki sepasang sepatu cantik yang
membuat saya tidak bosan memandangnya hingga terasa sayang untuk memakainya.
Namun juga sedikit khawatir jika membayangkan bagaimana saya berjalan saat
wisuda nanti? Apakah saya tidak akan terjatuh? Dan pertanyaan itu seakan
terhalang oleh kekaguman akan kecantikannya yang memukai, dengan tali yang
begitu manis. Sepatu itu terlihat sederhana namun menawan, tidak ada keramaian
seperti bunga-bunga layaknya sepatu seorang putri, hanya tali yang tipis yang
akan menutup mata kaki dan sebagian jari kaki.
Begitu hari yang dinantikan telah
tiba, dengan penuh semangat saya bangun pagi-pagi sekali, menyiapkan segala
sesuatu yang harus saya kenakan dalam acara sakral itu. Saya begitu bersemangat
mengenakan kebaya, begitu merasa bangga mengenakan toga dan merasa cantik saat
mengenakan sepasang sepatu itu. Hingga tanpa saya sadari kekhawatiran tentang
bagaimana jika saya jatuh saat mengenakan sepatu itu telah tergantikan dengan
rasa bahagia. Saya mampu berjalan tanpa harus terjatuh meskipun dengan sangat
pelan.
Hari itu seakan berakhir dengan
bahagia, tentang betapa usaha selama menempuh kuliah hingga mampu meraih gelar
sarjana, semua terbayar mahal tepat dihari wisuda itu. Saat sampai di rumah,
saat saya harus melepaskan sepatu cantik itu ada sebuah perasaan haru yang
membuat saya menyesal telah membelinya. Bukan karena saya tidak menyukainya
lagi setelah hari itu namun karena saya merasa sangat kasihan pada sepatu itu,
mungkin saya tidak bisa mengenakannya kembali. Saya hanya merasa bingung harus
memakainya kemana? Pada acara pernikahan? Ataukah pada acara-acara resmi? Saya
hanya mampu menyimpannya dalam kardus dan menjajarkan dengan sepatu kets saya
yang lain.
Setiap
kali melewati rak sepatu, saya selalu berhenti dan membuka kardus putih yang
mulai berdebu namun isi kardus itu masih sama, masih ada sepasang sepatu cantik
yang setahun lalu menemani saya melenggang untuk menerima ijasah sekaligus
bersalaman dengan rektor. Saya rasa saya akan memakainya kembali nanti pada
saat saya mengenakan kebaya, mungkin pada saat saya menikah. Dan saya hanya
akan selalu mengingat bahwa sepatu itu adalah sepatu pertama saya yang
tercantik yang pernah saya miliki sepanjang usia saya.
No comments:
Post a Comment